Suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis saat digiring di hadapan media oleh pihak Pusat Penerangan Hukum, Kejaksaan Agung, belum lama ini. (Dok.Kejagung)
JAKARTA,Tatrapost.com—Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami keterlibatan banyak pihak dalam kasus dugaan korupsi di PT. Timah Tbk (TINS). Terbaru, Kejagung buka suara soal kemungkinan kerugian negara yang disebabkan oleh dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Timah Tbk (TINS) tahun 2015 s/d 2022.
Kasus tersebut saat ini menjadi sorotan publik setelah sejumlah nama beken ikut menjadi tersangka dan ditahan Kejagung. Termasuk di antaranya, crazy rich PIK Helena Lim dan suami dari pesohor RI Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Direktur Penyidik Jampidsus Kuntadi mengatakan, pihaknya masih dalam proses penghitungan kerugian negara bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara, kami masih dalam proses penghitungan. Formulasinya masih kami rumuskan dengan baik dengan BPKP maupun dengan para ahli,” terang Kuntadi dalam Konferensi Pers di Jakarta, Rabu (27/3/2024) lalu.
Meski demikian, Kuntadi sempat menyinggung perkiraan kerugian negara yang telah dikaji dari sisi pendekatan ahli lingkungan.
“Yang jelas kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya,” kata dia.
Sebelumnya, disebutkan bahwa kerugian ekologis, ekonomi dan pemulihan lingkungan dari korupsi tersebut dari hasil perhitungan ahli lingkungan, IPB Bambang Hero Saharjo mencapai Rp. 271 triliun. Perhitungan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014.
Dalam kasus ini, nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis. Pertama, kerugian ekologis sebesar Rp.183,7 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp.74,4 triliun. Ketiga, kerugian biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp.12,1 triliun.
Lebih jauh Kuntadi menjelaskan, bahwa Harvey ini menjadi tersangka dalam perannya sebagai selaku perpanjangan tangan dari PT RBT. Harvey disebut pernah menghubungi mantan Direktur Utama PT. Timah Tbk tahun 2016-2021, MRPT alias RZ.
“Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT. Timah yaitu saudara MRPT atau Saudara RZ dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT. Timah,” ucap Kuntadi.
“Yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT. RBT, namun bukan sebagai pengurus PT. RBT,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, bahwa MRPT telah ditetapkan tersangka lebih dahulu oleh Kejagung di kasus yang sama. Kuntadi menyebut, usai komunikasi itu, Harvey melakukan pertemuan dengan RZ. Hasil pertemuan itu disepakati kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut adanya dibalut dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
“Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud,” tambah dia.
Selanjutnya, tersangka Harvey meminta para pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan itu, kata Kuntadi, kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim (HLN), yang sudah menjadi tersangka.
Ada pun Harvey merupakan tersangka ke-16 dalam kasus ini. Atas perbuatannya, Harvey diduga melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (TP-02)